"Seperti ada tertulis: tak ada yang benar, seorang pun tidak."
(Roma 3:10)
Setiap kali kita dihadapkan pada persoalan yang berat, kita sering bertanya kepada Tuhan: "Mengapa saya Tuhan?" Atau malah lebih parah lagi kalau kita menyalahkan Tuhan; "Mengapa Tuhan melakukan semua ini kepada saya? Apa salah saya?"
Sepasang suami-isteri bertengkar hebat hanya karena berbeda prinsip. Puncak nya masing-masing saling mengungkapkan keburukan-keburukannya, padahal keduanya sama-sama orang yang percaya Tuhan. Si isteri yang merasa lebih "rohani" berkata: "Ini semua terjadi karena setan tak suka melihat hubungan kami harmonis, setan memang licik dan licin, selalu bisa memanfaatkan celah sekecil apapun."
Saya yang mendengar si isteri menyalahkan setan jadi teringat tulisan di sebuah surat kabar, terbitan Ibu kota. Di harian itu ditulis: Setan datang kepada Tuhan dan berkata: "Tuhan, saya capek jadi setan, saya kesal sama manusia, kalau mereka membuat kesalahan selalu berkata, ini gara-gara setan, padahal setannya kan mereka sendiri, saya yang disalahkan, saya capek jadi setan Tuhan...."
Jawab Tuhan: "Kamu pikir hanya kamu yang capek sama manusia, saya lebih capek lagi, tiap hari bisanya cuma mengeluh, minta ini dan itu untuk kepentingan pribadi, kalau sudah dapat sombongnya setengah mati, lupa siapa yang memberi,tapi kalau mereka kepentok sesuatu sedikit saja, mereka selalu berkata, ini semua sudah kehendak dan jalan Tuhan, padahal sebagai Tuhan, Saya tidak pernah menghendaki manusia celaka, segala sesuatunya saya ciptakan dengan maksud baik." Waktu saya membaca tulisan di harian itu, saya jadi malu, saya juga sering seperti itu, merasa diri paling benar dan bisanya cuma minta terus.
Tulisan ini saya tunjukkan kepada teman saya yang notabene sebagai isteri,lalu dia berkata: "Jadi saya harus bagaimana dong....?!" Air matanya mulai mengalir di pipinya, dan saya paling tidak bisa melihat teman menangis. Bisa-bisa saya yang lebih 'banjir' dari pada dia. Untuk menghindari hal itu terjadi, saya langsung berkata:" Ya, ga usah ngapa-ngapain, berserah saja sama Tuhan, dan lebih baik traktir saja saya makan siang sebagai ganti biaya konsultasi." Benar saja, teman saya jadi mencair dan tersenyum (kecut); "Dasar " katanya.
Sebagai manusia, tak satu pun dari kita yang benar seratus persen. Selalu saja ada yang salah, sekalipun kita merasa sudah berbuat baik. Satu-satunya jalan untuk menjadi benar hanyalah lewat Tuhan Yesus, menyerahkan diri sepenuhnya, merelakan diri kita dibentuk oleh-Nya. Kita ini ibarat tanah liat dan Dia adalah Sang Penjunan. Apapun bentukan Tuhan, pasti hasil akhirnya bagus. Apapun pengalaman yang harus kita jalani dalam hidup, hendaklah kita ingat bahwa ada firman yang tertulis: "la membuat segala sesuatu indah pada waktunya." Selalu berakhir dengan happy end.
(Yani Himawan)
No comments:
Post a Comment