“Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya.” (Roma 11:36)
Akhir-akhir ini banyak banget orang-orang yang pada bingung ‘ngedebatin, terkadang aja ikut diskusi tanpa jadi sewot-melotot, tentang makanan haram atau halal sesuai dengan ajaran hukum Taurat dalam Perjanjian Lama, sebelum Tuhan Yesus Kristus datang untuk menggenapi semuanya itu.
Pertanyaan saya sih: Di jaman serba instan supersonik modern seperti sekarang ini, apakah ada jaminan 100% (seratus persen), bahwa kita tidak (akan) pernah menelan produk-produk makanan yang mengandung bahan-bahan berasal dari binatang-binatang tertentu?
Siapa sih yang kagak pernah pergi makan ke luar, ‘nongkrong di depot ini-itu, ‘nikmatin sate (oke, … yang ayam aja!) bakarannya Pak Miun, atau jagongan bareng-bareng di warung mie kwee tiauw Encek Hong Sien yang beken di ujung Jalan Raya Darmo?
Atau, … diajak temen-temen seiman nyobain makan semangkok soto Ambengan, atau ‘ngerasain sepiring nasi rawonnya Bu Gak Slamet di sebelah sekolah dasar Jalan Ngagel?
Atau, … kadang-kadang mesti beli ‘fish and chips’ kek, yang berminyak banget, ... di ‘take away shops’ atau di ‘foodcourt’-nya ‘mall’, atau ... harus ‘nganterin (‘nemenin) anak-anak atau keluarga, makan ‘junk food’-nya McDonald, Hungry Jack’s (di Indonesia namanya: Burger King), atau Pizza Hut?
Atau, … ikut nyemil-nyemil ‘cornchips’, ‘popcorn’, keripik kentang buatan luar negeri, sambil nonton bioskop, atau sambil rebah-rebahan di atas dipan-dipan rotan ‘ngobrol di halaman belakang rumah antar saudara?
Atau, … gara-gara ‘ngejerin karier melulu (kasarannya: ‘ngebetin uang aja!), supaya penghasilan rumah tangga jadi lebih meningkat, tidak punya waktu lagi untuk belanja di Pasar Pagi, atau masak makanan-makanan yang sehat (kasus ini hanya bagi yang tidak mempunyai pembantu di rumah!), sehingga setiap hari keluarganya dihidangin santapan-santapan instan asal-asalan dari dalam kaleng, atau dari dalam paket-paket plastik, seperti super mie buatan Thailand, bumbu-bumbu masak merk Bamboe, botol-botol saus masak cap Sauschwein, dan lain-sebagainya?
Pertanyaan saya lagi: Apakah ada garanti dalam hal-hal seperti itu, bahwa kita akan selalu bebas dari ancaman engga bakalan nelen makanan-makanan yang ‘ngandung ‘by products’ berasal dari binatang-binatang yang menurut kita haram?
Apakah ada garanti juga, bahwa yang mereka (si pemilik restoran, atau si pemilik depot) katakan kepada kita tentang bahan-bahan masak yang mereka pergunakan, seperti dagingnya kek, minyaknya kek, atau bumbunya kek, adalah yang seperti mereka jaminkan? Ingat ‘nggak peristiwa si Ajinomoto, cap mangkok merah? Kalau tidak salah kasus itu terjadi awal tahun 2002. Saya jadi ikut ‘ndengerin berita-berita dari televisi dan ikut ‘ngebaca artikel-artikel dalam koran tentang kejadian itu, gara-gara lagi kebetulan pulang ‘ngampung ke Indonesia.
Dan pertanyaan saya yang berikutnya: Apakah kita bisa ‘ngerti semua tulisan-tulisan yang dicantumkan di atas paket-paket masakan atau penganan instan yang kita makan? Jaman sekarang bumbu-bumbu di dalamnya biasanya ditulis dalam bentuk nomor-nomor, bukan nama-nama bahan lagi! Mungkin sekali hanya untuk hemat-hemat tempat/kertas, dan juga sekalian ‘ngehematin tinta cetaknya. Entah di Indonesia sekarang gimana, yang jelas kalau di negara ‘Down Under’ prinsipnya mah udah lama diganti model begituan.
Karena itu, meskipun ini hanya merupakan suatu persepsi pribadi saja, saya berani nanggung dah: Engga akan ada garantinya, bahwa kita hanya mau atau bisa ‘nyantap makanan-makanan yang menurut kita halal!
Di kota Brisbane, Australia, saya sering banget ‘ngeliat ibu-ibu berkerudungan pake jubah-jubah panjang asal Timur Tengah, yang sukaannya beli permen-permen jelly di supermarket-supermarket, yang memang terkenal enak, kenyal-kenyal gitu. Mungkin sekali di rumah sendiri masak dagingnya semua berasal dari ‘butchers’ halal, s’bab katanya spesial banget, khan ‘ngebantainya disambil ‘nyeruin salah satu dari mantra-mantra manjur tertentu. Tetapi tanpa disadari oleh mereka sendiri, karena doyan ‘ngemut, … eh kecolongan juga, ... makan permen-permen jelly yang mengandung ‘gelatin’! Anda khan tahu sendiri maksud saya, bahan itu berasal dari mana? Berabe deh, kalau mereka ‘ngecek nomor-nomor rahasia yang tercantum dalam daftar ‘ingredients’-nya
Jadi di jaman seperti ini, … bagaimana cara kita untuk bisa membuktikan kepada orang-orang lain, bahwa tubuh kita sendiri tidak pernah terkontaminasi oleh bahan-bahan makanan yang kita yakini terlarang atau najis? Lalu menyangka bahwa hanya kita saja yang bisa seperti burung-burung ‘peacock’, dengan angkuhnya memamerkan keindahan ekornya, masuk pintu gerbang sorga, sambil ‘ngetawain orang-orang lain yang sukaannya makan sate babi, RW, gulai kambing dan lain sebagainya.
“Siapa yang makan, janganlah menghina orang yang tidak makan, dan siapa yang tidak makan, janganlah menghakimi orang yang makan, sebab Allah telah menerima orang itu.” (Roma 14:3)
Ada sih satu kemungkinan, bagi yang mau sungguh-sungguh ‘strict’ ‘ngikutin cara makan sesuai dengan hukum Taurat: Bagaimana yah, kalau kita punya pertanian dan perternakan sendiri aja di belakang rumah untuk dikonsumsi hanya oleh seluruh anggota keluarga sendiri? Tapi, … mikir-mikir lagi, … gimana nih dengan pupuknya? Wah bisa berabe juga kalo itu … eh, jangan-jangan berasal dari perut-perut si ‘Babe’! Yuck, … haram banget?!
Serba pusing juga, yah?!
Karena itu firman Tuhan khan jelas bilangnya gini: ‘Karena: “bumi serta segala isinya adalah milik Tuhan.” (1Korintus 10:26) Dan Roma 14 ayat 6 juga ‘nerangin: “... Dan siapa makan, ia melakukannya untuk Tuhan, sebab ia mengucap syukur kepada Allah. Dan siapa tidak makan, ia melakukannya untuk Tuhan, dan ia juga mengucap syukur kepada Allah.”
Bukankah Alkitab juga mengatakan, bahwa kita (KITA) penuh (PENUH) dengan (DENGAN) dosa (DOSA)? Dan bukankah seluruh kebaikan-kebaikan kita (yang tentu saja hanya merupakan standar manusia) adalah seperti kain-kain yang kotor di mata Tuhan?
Karena itu, kita semua perlu ‘pembenaran’ melalui pengorbanan Tuhan Yesus Kristus di Kayu Salib 2000 tahun yang lalu, yaitu untuk dengan sepenuh hati bersyukur menerima anugerah kasih karunia penuh keajaiban, yang sudah diberikan oleh-Nya kepada kita secara gratis. Dan bukan berusaha terus mengerjakan keselamatan kita dengan memakai logika pikiran atau kekuatan sendiri guna menyenangkan hati Bapa di sorga.
Padahal ... tanpa kita sadari, sebenarnya tubuh kita sendiri sudah (lama sekali) terkontaminasi oleh bahan-bahan yang kita gembar-gemborkan ‘haram’, sambil rajin menghakimi umat Tuhan yang lain. Firman Tuhan khan juga jelas mengatakan, bahwa siapa yang ingin terus menjalankan hukum Taurat, … akan diadili kelak menurut hukum tersebut.
Lagipula, … hampir semua orang-orang Kristen khan udah ‘ngerti banget, bahwa hukum Taurat sebenarnya bukan cuman urusan makanan haram/halal doang, … ‘scope’ hukum Taurat mah jauh lebih njelimet! Karena itu, kita semua butuh banget kehadiran Tuhan Yesus Kristus dalam kehidupan kita.
Saya mah udah mutusin untuk ‘ngikutin Tuhan Yesus aja, ah! S’bab saya harus ‘ngakuin nih, … engga bakalan mampu dah untuk menuhin syarat-syarat hukum-hukum Taurat yang rumitnya, … ya ampun!!
Hanya sekedar oret-oret untuk dipertimbangkan, ... betul engganya?
John Adisubrata
No comments:
Post a Comment