Pada tanggal 10 yang lalu, wawancara yang saya lakukan pada hari itu berbeda seperti yang biasanya, redaksi menginginkan saya pergi mewawancarai seorang penderita penyakit kanker tahap akhir.
Dia adalah seorang guru muda di sebuah desa di pegunungan es. Karena mencintai anak-anak yang berada di atas gunung, dia melepaskan kesempatan bekerja di kota setelah tamat menjadi sarjana.
Tetapi setelah 5 tahun kemudian dia menderita penyakit kanker hati. Mendengar dia masih mengajar sekelompok anak-anak yang tumbuh di pegunungan es, saya ingin mensurvei keadaan pengunungan es itu. Karena saya sudah diam-diam memutuskan akan mengubur diri sendiri dibawah salju yang putih di pegunungan es tersebut.
Ketika saya tiba di sekolah kecil dipegunungan es ini, kepala sekolah membawa saya mencari guru muda yang sedang mengajar, melalui jendela kaca saya mengintip ke dalam ruangan kelas, saya sangat kaget, walaupun dia kelihatan kurus, rambutnya agak acak, tetapi penampilannya sama sekali tidak sama dengan orang yang sakit, dia tersenyum dengan cerah dan terlihat sangat tegar.
Ketika lonceng istirahat berbunyi, dia dengan murid-muridnya dengan gembira keluar dari ruang kelas, saya mengangkat kepala memandangnya, dia tersenyum dengan hangat kepada saya. Dia memiliki sepasang mata yang seperti lautan yang luas, begitu tenang dan dalam.
Setelah selesai wawancara, dia menemani saya melihat gunung es, memandangan ke salju putih digunung es tersebut, perasaan saya menjadi trenyuh.
“Apa yang terjadi denganmu?”
Lengannya yang kurus dengan simpati merangkul kebahu saya, di lengan bajunya saya lihat ada bekas kapur tulis.
“Disini sangat damai, alangkah baiknya jika dapat berbaring di sini berubah menjadi salju.”
Saya dengan sekuat tenaga menahan air mata yang sudah akan menetes sejak lama, di dalam hati merasa sangat menderita. Dia memandang ke saya, seperti memikirkan sesuatu.
Setelah dua hari pulang ke rumah dan telah menyelesaikan artikel saya, hati saya kembali dirundung kesepian dan kesedihan, kesedihan karena masalah perceraian, percecokan yang melelahkan yang tidak berkesudahan dan kesedihan karena putus asa.
Dengan hati kacau saya mengemas pakaian untuk perjalanan, saya membawa mantel merah kesukaan saya dan buku harian yang selama ini menemani saya. Selamat tinggal segalanya, hidup ini demikian susah, saya ingin menghabiskan hidup saya diatas pengunungan es meninggalkan dunia yang fana dan sumber kesengsaraan ini.
Ketika saya melangkahkan kaki keluar rumah, telepon dirumah berbunyi sudah sangat lama, saya membalikkan badan masuk kedalam rumah dengan tangan gemetar saya mengangkat telepon, diseberang sana terdengar suara seorang anak perempuan sedang berbicara, “Apakah engkau adalah tante Xihong?”.
“Benar, saya sendiri, ini dari siapa ya?”
“Saya adalah murid dari guru Zhangzhi, dia memberi saya 10 yuan dan sepucuk surat, dia memesan kepada saya harus segera mengirim surat dan menelpon ke tante, saya menghabiskan 3 jam untuk berjalan ke kantor pos di kaki gunung mengirim surat dan akhirnya telepon tersambung juga…”
“Bagaimana dengan Zhangzhi?”
“Dua hari yang lalu dia sudah pergi… “Sambil menangis anak perempuan ini berkata, “Sebelum dia meninggal dia berpesan kepada saya, bahwa dia melihat kesedihan yang mendalam di wajahmu, walaupun dia tidak tahu kesedihan apa yang terjadi padamu, tetapi dia menyuruh saya menyampaikan kepadamu, harus hidup dengan tabah dan membuat diri sendiri gembira, ini adalah pesan terakhirnya dia menginginkan engkau mengabulkan pesan terakhirnya.”
Mata saya bagaikan buta dengan penuh air mata saya terduduk di lantai menangis dengan sedih. Zhangzhi, seseorang yang sudah akan meninggalkan dunia ini masih teringat kepada saya yang hanya satu kali bertemu dengannya. Dia sudah pergi, tetapi dia telah menyelamatkan seseorang yang ingin menguburkan diri sendiri di pegunungan es.
Seminggu kemudian, saya menerima sepucuk amplop surat terakhir darinya. Di dalam amplop ada sebuah lukisan cat air, didalam lukisan terdapat pegunungan es dengan salju yang putih, di pegunungan salju yang sepi ini ada sehelai selendang berwarna merah, di atas selendang ada sepasang mata sedang memandang.
Dibawah lukisan cat air ini terdapat tulisan, “Engkau adalah sebuah bendera di atas salju, saya adalah sepasang mata hitam yang memperhatikan jalan hidupmu, kehidupan yang indah ini memerlukan kesabaran. Harus selalu tabah, tenangkan batinmu, dari temanmu Zhangzhi.”
Air mata menetes tanpa berhenti dari mata saya, batin yang tertekan serta yang sudah lama kehilangan cinta tiba-tiba terbuka, gelombang panas serasa mengalir dengan deras melalui pembuluh darah saya. Saya membingkai foto ini dengan bingkai warna putih gading dan mengantungnya di dalam kamar tidur saya.
Mereka memancarkan cinta kasih yang tanpa pamrih, sehingga membuat hati saya yang telah lama beku kembali memancarkan cahaya kasih dan ketegaran. Hadiah dari mantan sahabat muda berusia 26 tahun yang menjadi guru disekolah dasar di pengunungan es, yang mempunyai sepasang mata bagaikan lautan yang dalam mempunyai vitalitas dan keceriaan hidup, dialah yang mengajarkan kepada saya pada saat hati saya bagaikan es yang membeku di pegunungan berubah menjadi hangat dan penuh vitalitas.
Benar temanku!
Hidup yang penuh keceriaan ini perlu kesabaran, kesabaran dan bertahan dapat menempah hidup ini menjadi lebih tegar, lebih gembira, dengan demikian kita bisa menguasai ketenangan batin dengan tangan kita sendiri. (Erabaru/hui)