Total Pageviews

May 16, 2011

Kehidupan Ini Perlu Kesabaran

Pada tanggal 10 yang lalu, wawancara yang saya lakukan pada hari itu berbeda seperti yang biasanya, redaksi menginginkan saya pergi mewawancarai seorang penderita penyakit kanker tahap akhir.
Dia adalah seorang guru muda di sebuah desa di pegunungan es. Karena mencintai anak-anak yang berada di atas gunung, dia melepaskan kesempatan bekerja di kota setelah tamat menjadi sarjana.
Tetapi setelah 5 tahun kemudian dia  menderita penyakit kanker hati. Mendengar dia masih mengajar sekelompok anak-anak yang tumbuh di pegunungan es, saya ingin mensurvei keadaan pengunungan es itu. Karena saya sudah diam-diam memutuskan akan mengubur diri sendiri dibawah salju yang putih di pegunungan es tersebut.
Ketika saya tiba di sekolah kecil dipegunungan es ini, kepala sekolah membawa saya mencari guru muda yang sedang mengajar, melalui jendela kaca saya mengintip ke dalam ruangan kelas, saya sangat kaget, walaupun dia kelihatan kurus, rambutnya agak acak, tetapi penampilannya sama sekali tidak sama dengan orang yang sakit, dia tersenyum dengan cerah dan terlihat sangat tegar.
Ketika lonceng istirahat berbunyi, dia dengan murid-muridnya dengan gembira keluar dari ruang kelas, saya mengangkat kepala memandangnya, dia tersenyum dengan hangat kepada saya. Dia memiliki sepasang mata yang seperti lautan yang luas, begitu tenang dan dalam.
Setelah selesai wawancara, dia menemani saya melihat gunung es, memandangan ke salju putih digunung es tersebut, perasaan saya menjadi trenyuh.
“Apa yang terjadi denganmu?”
Lengannya yang kurus dengan simpati merangkul kebahu saya, di lengan bajunya saya lihat ada bekas kapur tulis.
“Disini sangat damai, alangkah baiknya jika dapat berbaring di sini berubah menjadi salju.”
Saya dengan sekuat tenaga menahan air mata yang sudah akan menetes sejak lama, di dalam hati merasa sangat menderita. Dia memandang ke saya, seperti memikirkan sesuatu.
Setelah dua hari pulang ke rumah dan telah menyelesaikan artikel saya, hati saya kembali dirundung kesepian dan kesedihan, kesedihan karena masalah perceraian,  percecokan yang melelahkan yang tidak berkesudahan dan kesedihan karena putus asa.
Dengan hati kacau saya mengemas pakaian untuk perjalanan, saya membawa mantel merah kesukaan saya dan buku harian yang selama ini menemani saya. Selamat tinggal segalanya, hidup ini demikian susah, saya ingin menghabiskan hidup saya diatas pengunungan es meninggalkan dunia yang fana dan sumber kesengsaraan ini.
Ketika saya melangkahkan kaki keluar rumah, telepon dirumah berbunyi sudah sangat lama, saya membalikkan badan masuk kedalam rumah dengan tangan gemetar saya mengangkat telepon, diseberang sana terdengar suara seorang anak perempuan sedang berbicara, “Apakah engkau adalah tante Xihong?”.
“Benar, saya sendiri, ini dari siapa ya?”
“Saya adalah murid dari guru Zhangzhi, dia memberi saya 10 yuan dan sepucuk surat, dia memesan kepada saya harus segera mengirim surat dan menelpon ke tante, saya menghabiskan 3 jam untuk berjalan ke kantor pos di kaki gunung mengirim surat dan akhirnya  telepon tersambung juga…”
“Bagaimana dengan Zhangzhi?”
“Dua hari yang lalu dia sudah pergi… “Sambil menangis anak perempuan ini berkata, “Sebelum dia meninggal dia berpesan kepada saya, bahwa dia melihat kesedihan yang mendalam di wajahmu, walaupun dia tidak tahu kesedihan apa yang terjadi padamu, tetapi dia menyuruh saya menyampaikan kepadamu, harus hidup dengan tabah dan membuat diri sendiri gembira, ini adalah pesan terakhirnya dia menginginkan engkau mengabulkan pesan terakhirnya.”
Mata saya bagaikan buta dengan penuh air mata saya terduduk di lantai menangis dengan sedih. Zhangzhi, seseorang yang sudah akan meninggalkan dunia ini masih teringat kepada saya yang hanya satu kali bertemu dengannya. Dia sudah pergi, tetapi dia telah menyelamatkan seseorang yang ingin menguburkan diri sendiri di pegunungan es.
Seminggu kemudian, saya menerima sepucuk amplop surat terakhir darinya. Di dalam amplop ada sebuah lukisan cat air, didalam lukisan terdapat pegunungan es dengan salju yang putih, di pegunungan salju yang sepi ini ada sehelai selendang berwarna merah, di atas selendang ada sepasang mata sedang memandang.
Dibawah lukisan cat air ini terdapat tulisan, “Engkau adalah sebuah bendera di atas salju, saya adalah sepasang mata hitam yang memperhatikan jalan hidupmu, kehidupan yang indah ini memerlukan kesabaran. Harus selalu tabah, tenangkan batinmu, dari temanmu Zhangzhi.”
Air mata menetes tanpa berhenti dari mata saya, batin yang tertekan serta yang sudah lama kehilangan cinta tiba-tiba terbuka, gelombang panas serasa mengalir dengan deras melalui pembuluh darah saya. Saya membingkai foto ini dengan bingkai warna putih gading dan mengantungnya di dalam kamar tidur saya.
Mereka memancarkan cinta kasih yang tanpa pamrih, sehingga membuat hati saya yang telah lama beku kembali memancarkan cahaya kasih dan ketegaran. Hadiah dari mantan sahabat muda berusia 26 tahun yang menjadi guru disekolah dasar di pengunungan es, yang mempunyai sepasang mata bagaikan lautan yang dalam mempunyai vitalitas dan keceriaan hidup, dialah yang mengajarkan kepada saya pada saat hati saya bagaikan es yang membeku di pegunungan berubah menjadi hangat dan penuh vitalitas.
Benar temanku!
Hidup yang penuh keceriaan ini perlu kesabaran, kesabaran dan bertahan dapat menempah hidup ini menjadi lebih tegar, lebih gembira, dengan demikian kita bisa menguasai ketenangan batin dengan tangan kita sendiri. (Erabaru/hui)

Menggapai Kebahagiaan

Saya pernah mendengar cerita dari seorang tua : Ada seseorang yang sangat beruntung, dia mendapatkan sebutir mutiara yang besar dan cantik, tetapi dia sendiri tidak merasa puas, karena diatas mutiara tersebut terdapat sebuah noda hitam kecil.
Dia lalu berpikir jika dia bisa menghilangkan noda hitam kecil ini, maka mutiara ini akan sangat sempurna yang akan menjadi mutiara yang paling cantik dan paling sempurna di dunia ini.
Dia memutuskan menguliti lapisan teratas mutiara tersebut, tetapi noda tersebut tetap ada, lalu dia menguliti lapisan kedua dia berpikir sekali ini pasti noda tersebut akan hilang, tetapi kenyataannya noda tersebut masih ada, lalu dia terus mengkuliti selapis demi selapis, sampai lapisan terakhir, benar saja noda tersebut telah hilang tetapi mutiara tersebut juga ikut hilang.
Akhirnya orang tersebut hatinya sangat sakit dan menyesal, karena sakit hati terakhir dia jatuh sakit dan tidak pernah sembuh lagi, ketika dia akan meninggal dengan menyesal dia berkata kepada keluarganya, “Jika dahulu saya tidak peduli kepada noda kecil tersebut, sampai sekarang saya pasti masih dapat mengelus mutiara yang besar dan cantik tersebut".
Teringat kepada cerita ini, saya masih mempunyai sebuah cerita. Beberapa waktu yang lalu, setiap senja saya mempunyai kebiasaan setiap hari berjalan-jalan ke tepi laut, oleh sebab itu saya sering bertemu dengan sepasang suami istri yang sudah beruban, mereka berdua akan duduk berdampingan dengan tenang disebuah kursi memandang ke laut.
Mereka berdua selalu duduk dengan tenang tanpa berkata sepatah katapun, tetapi di wajah mereka selalu tergantung senyum yang ramah, kelihatan mereka bagaikan sebuah lukisan yang bahagia dan damai.
Pada suatu hari, karena penasaran saya berjalan ke dekat mereka dan bertegur sapa dengan mereka, “Kalian juga suka melihat laut ya?”
Kakek itu memandang ke arah saya sambil menganggukkan kepala sambil tersenyum mengiakan, kemudian dia menunjuk ke nenek disebelahnya, pada saat ini saya menyadari bahwa kakek tersebut adalah seorang yang tunarungu, sedangkan istrinya adalah seorang yang buta.
Pada saat ini  saya merasa sangat malu dengan sapaan saya, tetapi di wajah kedua kakek dan nenek ini tidak ada sedikitpun rasa tidak gembira, sebaliknya, dia dengan nada lembut dan jujur berkata kepada saya, “Benar, kami berdua sering datang ketempat ini 'melihat' laut. Engkau tentu merasa heran, sebenarnya jika di hati nurani kami tidak ada merasa cacat, kami berdua tetap menjadi orang yang normal. “
Mungkin, sejak saat itu, dari sepasang kakek nenek cacat yang ramah ini saya menyadari apa yang menjadi tolak ukur kebahagiaan. Kebahagiaan sejati, sebenarnya bukan kita menempuh marabahaya untuk menyelamatkan belahan hati kita, jangan dengan sengaja mencari noda atau kekurangan pihak lain lalu berusaha dengan segenap cara menghilangkan noda tersebut, tetapi kita akan berusaha menggenggam dengan baik mutiara yang berada ditangan kita, belajar memahami, menerima kekurangan masing-masing, dengan demikian akan mendapatkan kebahagian yang sejati. (Erabaru/hui)

Tuhan Memiliki Jawaban Yang Positif

Ketika kapal karam, hanya dia sendiri yang selamat, hidupnya tergantung kepada sebuah papan besar akhirnya dia dihanyutkan oleh ombak dan terdampar disebuah pulau terpencil yang tidak berpenghuni.
Setiap hari dia berdoa kepada Tuhan supaya ada menyelamatkan dia dan dapat kembali pulang ke rumahnya.
Setiap hari dia memandang ke laut, mengharapkan ada kapal yang lewat yang bisa menyelamatkan dia, tetapi yang terlihat hanyalah laut dan langit saja apapun tidak terlihat lagi.
Kemudian, ia memutuskan untuk mempergunakan papan yang membawanya ke pulau itu, membangun sebuah pondok kayu sederhana untuk melindungi dia dalam lingkungan yang berbahaya ini untuk bertahan hidup, dan untuk menyimpan sedikit hartanya
Tetapi suatu hari ketika dia pulang dari mencari makanan, dia melihat pondok kayunya terbakar, api sangat besar dan asap membumbung tinggi ke langit, dalam sekejap pondok kayunya habis terbakar.
Yang paling menyedihkan adalah sedikit hartanya juga turut terbakar habis menjadi abu, dalam kesidihan dia berteriak ke langit, “Oh Tuhanku! Kenapa engkau melakukan semua ini terhadapku?”
Pada saat itu airmata mengalir dengan deras dari matanya.
Keesokkan harinya, dia dibangunkan oleh suara mesin kapal yang mendarat ke pulau kecil ini, benar, ada orang yang datang menyelamatkannya.
Setelah naik keatas kapal, dia bertanya kepada kapten kapal, “Kenapa kalian tahu saya berada ditempat ini?”
“Karena kami melihat sinyal asap minta tolong.” Kapten kapal menjawab.
Manusia ketika menghadapi kesulitan mudah tertekan, namun walaupun menghadapi kesulitan dan penderitaan yang sebesar apapun, tidak boleh kehilangan iman, karena Tuhan senantiasa didalam hati kita melakukan hal-hal yang menakjubkan. (Erabaru/hui)